Condet, Dalam Kenangan

Lokasi ataupun tempat, entah itu pemukiman penduduk ataupun lokasi finansial terkadang sering mempengaruhi penilaian orang. Semakin elit lokasi semakin bergengsi pula lokasi tersebut. Di abad 18-an, oleh bangsa Eropa Batavia pernah dijuluki Queen of The East (ratu dari timur). Penyebabnya karena Batavia memiliki beberapa kawasan elit yang memikat seperti Weltevreden, Noorwidjk, dan Riswijdk. Kawasan ini tak ubahnya Amsterdam atau kota-kota di Eropa, lengkap dengan kanal-kanal berair jernih. Tangan Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang biasa dilumuri darah para inlander itu sesungguhnya terlalu kasar untuk menjadi seorang designer tata kota. Meskipun begitu harus diakui, ia sanggup merubah Batavia menjadi indah. Karenanya sejumlah petinggi Belanda dan saudagar-saudagar Eropa sangat betah tinggal di Batavia.

Pada awal abad 20, kawasan Menteng, Tebet, atau Gudang Peluru menyusul popularitas Queen of the East menjadi kawasan pemukiman ter-elit di ibukota. Seolah sedang mengulang masa-masa Queen Of The East Batavia di masa lalu, kalangan pejabat, mantan pejabat, artis, atau pengusaha berebut memilih sejumlah kawasan tersebut untuk lokasi domisili. Maklum, kawasan-kawasan pemukiman elit itu begitu nyaman untuk ditinggali, khususnya bagi mereka yang ingin enjoy setelah berjibaku dengan padatnya kesibukan sehari-hari yang melelahkan. Kendati di akhir pekan mereka yang menetap di kawasan-kawasan itu tak jarang menghabiskan weekend nya untuk sekedar rileks di antara tebalnya kabut, dinginnya cuaca, serta hijaunya permadani kebun teh di kawasan puncak Jawa Barat.

Tahun-tahun berikutnya kawasan Kemang, Pondok Indah, dan Permata Hijau yang terletak di selatan Jakarta memproklamirkan diri sebagai kawasan pemukiman paling elit yang pernah ada di metropolitan, menenggelamkan pamor sejumlah kawasan elit sebelumnya. Siapapun yang tinggal di situ secara tak langsung telah menjelaskan status sosialnya,  setidaknya anjing-anjing “herder Jerman” dan security berbadan tegap yang siaga nongkrong di mulut gerbang rumah-rumah di sana sudah bisa menjelaskan bahwa siapapun tidak bisa masuk sembarangan ke rumah-rumah itu. Mungkin suatu saat nanti kita akan menemui kawasan-kawasan elit yang lebih hebat lagi. Saat itu ialah ketika anak cucu kita tidak lagi menemukan jenis bangunan di ibukota ini kecuali real estate dan gedung-gedung perkantoran. Saat di mana tak ada tempat lagi bagi orang-orang miskin termasuk masyarakat asli Betawi untuk dapat tinggal di ibukota karena derap pembangunan memaksa mereka menyingkir ke daerah-daerah pinggiran, bahkan lebih pinggir lagi.

Kawasan bisnis Segi Tiga Emas, kawasan Gajah Mada, atau kawasan jalan Merdeka pada zaman orba disebut-sebut juga sebagai kawasan bisnis paling elit di metropolitan. Gedung-gedung pencakar langit berdiri di mana-mana dengan congkaknya. Sekilas nampak seperti hutan belantara beton dengan kaca-kaca yang menyilaukan mata. Di mana pada jam-jam sibuk, ruas-ruas jalan di kawasan ini selalu dipadati kendaraan bermotor. Tentunya dengan polusi yang dapat menyebabkan berbagai penyakit. Di malam hari, berbagai kawasan tadi berubah menjadi cantik. Lampu-lampu jutaan watt berwarna-warni menghiasi setiap tempat. Billboard-billboard berukuran raksasa terpancang indah di sudut-sudut jalan seolah memamerkan kekuatan perusahaan yang tengah diiklankan. Di beberapa sudut kawasan x, di pinggir-pinggir jalan, ada wanita-wanita muda berpakaian seronok dengan senyum yang hampir tak pernah lepas dari bibirnya sambil pandangi mobil-mobil mewah yang berseliweran. Dari balik tatapan mata mereka ada harap dan penantian, semoga ada transaksi “bantal” malam itu. Aktivitas siang yang “melelahkan” telah berganti menjadi aktivitas malam yang penuh dengan kegemerlapan fana “meletihkan”.
    
Jakarta, yang menurut para turis asing adalah kota segala ada, memang demikianlah adanya. Semua nampak mewah, semua terlihat mempesona. Bagi orang-orang desa, berita tentang Jakarta seperti sebuah brosur penuh dengan janji-janji muluk. Kota megapolitan urutan lima besar Asia itu terlalu indah untuk tidak dikunjungi. Namun tidak semua wajah ibukota dihiasi gedung-gedung bertingkat, tidak semuanya berbau megapolitan. Bila kita mau menengok daerah-daerah lain di Jakarta, mencoba untuk beranjak ke arah timur, jangan kaget, kita akan menemukan beberapa kawasan yang berbeda dengan kawasan yang telah disebutkan tadi, bahkan kawasan ini jauh dari sebutan elit. Salah satunya adalah kawasan Kramat Jati dengan daerah Condet-nya yang selanjutnya akan menjadi fokus pembahasan dalam buku ini.

Belumlah lama berlalu, saya perkirakan sekitar 20 atau 30 tahun sebelumnya, orang-orang masih menyebut daerah Condet sebagai daerah Jakarta pinggiran atau Jakarta udik. Sederet lagi julukan-julukan yang tidak enak di telinga terlalu sering saya dengar untuk daerah ini. Condet dulu seperti dongeng bawang putih, dianaktirikan dan diperlakukan semena-mena. Tidak ada orang yang sudi melirik daerah yang waktu itu enak untuk dijadikan objek cemoohan ini. Condet sesungguhnya terlalu manis untuk dikasari, mereka orang-orang yang tinggal di luar Condet begitu tega mengatakan, ingat Condet ingat tempat jin buang anak! Daerah itu kampungan! Orang-orangnya norak! Yang tinggal di sana cuma orang-orang Betawi pedalaman yang bodoh! Ah, keterlaluan sekali orang-orang itu menilai Condet.

Mengapa Condet disebut Jakarta pinggiran? Secara geografis, lokasi ini berdekatan dengan daerah Lubang Buaya, Lenteng Agung, ataupun Cibubur di mana seluruh daerah tersebut memang berada di perbatasan-perbatasan kotamadya Jawa Barat. Daerah Lubang Buaya misalnya, berbatasan dengan wilayah Pondok Gede, kotamadya Bekasi. Daerah Lenteng Agung, berbatasan dengan wilayah Kotamadya Depok, sementara daerah Cibubur, berbatasan dengan wilayah Gunung Putri, Kotamadya Bogor. Sebab itu Condet disebut daerah pinggiran. Dengan begitu, beberapa daerah perbatasan itu juga menjadi pintu gerbang keluar-masuk dari atau ke ibukota.

Seandainya saja mereka yang sinis pada Condet tahu seperti apa alam daerah itu dulu, dan seandainya saja mereka tahu bahwa kawasan Condet (20 atau 30 tahun lalu) adalah kawasan flora dan fauna serta situs-situs sejarah satu-satunya yang masih tersisa di ibukota, seandainya mereka tahu itu pastinya mereka tidak akan sesinis itu.

Kawasan Condet 20 atau 30 tahun lalu belum seramai sekarang. Belum banyak tangan-tangan jahil yang menjamahnya. Kondisi alamnya pun masih nampak asri dan indah. Kawasan yang masih banyak dikelilingi rimbunnya pepohonan sebesar dua kali pelukan tangan manusia. Sementara daerah yang berdekatan dengan Condet seperti Tjawang, Mesteer Cornelis, dan Matraman, pembangunannya sudah jauh lebih maju. Selain itu, turut pula mempengaruhi penilaian orang pada daerah Condet adalah perbedaan dialek daerah tersebut dengan daerah-daerah lain di Jakarta. 

Penduduk di kawasan Kramat Jati dan Condet rata-rata menggunakan dialek Betawi pinggiran yang kasar. Survey menunjukkan memang ada penduduk asli Jakarta (Betawi) yang menggunakan dialek Betawi kasar, seperti penduduk di daerah pinggiran Jakarta Selatan, Timur, Utara, dan Barat. Orang-orang Betawi kota menyebut bahasa masyarakat Betawi di wilayah timur “Betawi ora”. Sedangkan penduduk Betawi lainnya, tidak menggunakan dialek seperti itu. Kebanyakan mereka menggunakan dialek Betawi halus. Dialek itu lebih dikenal dengan dialek Betawi melayu tinggi. Dan barangkali karena alasan ini mereka merasa lebih pantas disebut orang Betawi dibanding mereka yang menggunakan bahasa Betawi ora. Bahkan masyarakat Betawi kota itu kerap menyebut kampung Condet dengan julukan-julukan berbau ejekan.

Kramat Jati, merupakan sebuah Kecamatan yang berada di wilayah Kotamadya Jakarta Timur. Daerah ini bisa dibilang sangat luas karena mencakup 7 Kelurahan yang terdiri dari; Kelurahan Cawang, Kelurahan Kramat Jati, Kelurahan Cililitan, Kelurahan Balekambang, Kelurahan Batu Ampar, Kelurahan Kampung Tengah, serta Kelurahan Kampung Dukuh.

Pada dekade 1900-an, daerah Kramat Jati lebih dikenal dengan nama Tjililitan atau Djati lama. Dulu di sana pernah ada sebuah pasar tradisional rakyat. Orang-orang menyebutnya pasar Djati Lama. Lokasi pasar yang berdekatan dengan Lapangan Udara Tjililitan dan Bulak Kapal. (sebelum banyak pergantian nama-nama tempat, Bandara Halim Perdana Kusumah disebut Lapangan Udara Tjililitan dan Cililitan Besar disebut Bulak Kapal) hingga membuat pasar Djati Lama menjadi daerah yang cukup strategis untuk berniaga. Tak jelas mulai kapan pasar itu ada, namun setiap hari dari berbagai pelosok daerah, para pedagang berdatangan untuk berjualan di pasar Djati Lama. Dalam beberapa dekade pasar Djati Lama pun menjadi salah satu pusat pasar tradisional di timur Batavia. Di pasar itu hiruk pikuk perniagaan jelas terlihat. Banyak yang membuka warung kelontong di sana, tapi mereka bukan orang-orang Cina yang terkenal cakap memanfaatkan situasi untuk berjualan, mereka yang membuka warung-warung kelontong adalah orang-orang pribumi yang lebih senang mendapat pembeli meneer-meneer Belanda atau istri-istri mereka, karena rata-rata pembeli berambut pirang itu jarang sekali menawar. Di pasar itu berbagai macam jenis barang lengkap dijajakan, mulai dari beras, gula, ikan, sayur mayur, daging, pakaian, buah-buahan, alat-alat rumah tangga, alat-alat pertanian, ataupun obat-obatan.

Lokasi pasar Djati Lama waktu itu berada persis di perempatan Cililitan, letak yang sangat strategis untuk sebuah pasar tradisional. Para pedagang cerdik sekali memanfaatkan kestrategisan lokasi ini. Nuansa kestrategisan kawasan itu dapat dilihat hingga sekarang. Sebuah pusat grosir berdiri megah enam tingkat tepat di tengah-tengah keramaian Cililitan. Sejak pusat grosir bernama PGC (Pusat Grosir Cililitan) itu diresmikan beberapa tahun lalu, sejumlah pusat perbelanjaan yang berada di sekitarnya mau tidak mau jadi “minder”. Keberadaan gedung PGC telah merebut banyak hati ibu-ibu dan remaja putri untuk menjadi pelanggan setia PGC. Dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya masih tetap berjalan, namun jelas manajemennya tersengal-sengal. Pusat Grosir Cililitan tak ubahnya raksasa mal yang siap melumat mal-mal di sekelilingnya. Keuntungan dari PGC yang dapat dipetik hanya keberadaan terminal yang tepat berada di sampingnya. Terminal itu adalah terminal angkutan umum yang hanya melayani trayek dalam kota.

Terminal dalam kota yang terdapat di samping pusat grosir sekarang pada era 80-an pernah difungsikan sebagai terminal bus antar kota. Melayani trayek Bogor, Bandung, Cirebon, Cikampek, Garut, Tasikmalaya, Kuningan, dan sejumlah kota lain di Jawa Barat serta sebagian kota di Jawa Tengah. Seperti kebanyakan terminal bus antar kota, terminal Cililitan adalah terminal hidup yang beroperasi non stop 24 jam. Di siang hari, ruas jalan Dewi Sartika (depan terminal) seringkali diwarnai kemacetan karena terhambat bus-bus yang setiap saat keluar-masuk terminal. Sekarang, setelah bus-bus trayek antar kota tidak beroperasi lagi di sana–setelah pemerintah memindahkan bus-bus bertrayek antar kota itu ke terminal kampung rambutan, kemacetan bukannya berkurang malah semakin menjadi-jadi, terutama pada waktu pagi dan sore. Hal ini disebabkan oleh jumlah kendaraan roda dua dan empat di Jakarta yang belakangan semakin meningkat.

Kawasan Cililitan sekitar dua puluh tahun yang lalu masih dikuasai para preman berkulit legam yang biasa mangkal di terminal, kalau bicara biasanya selalu bernada tinggi dan sembarangan. Mereka, para preman itu tidak sungkan-sungkan berbuat kriminal di tempat-tempat ramai atau bahkan di hadapan para penumpang bus. Kalau mereka sudah ribut, minta ampun, mereka suka teriak-teriak, berlarian dan main keroyokan persis tawuran anak-anak SMU. Menjelang tengah malam, mereka berkumpul di sudut-sudut terminal, bernyanyi atau berjudi sambil menikmati minuman keras. Sering mereka tertawa dan berbicara keras-keras di siang hari. 

Aksi onar mereka terus berlanjut hingga tengah malam, sepertinya sengaja untuk memancing keributan. Kondisi ini semakin diperparah oleh tindakan kriminal yang kerap mereka lakukan. Bukan hal aneh jika setiap hari di terminal Cililitan ada saja yang kecopetan atau kejambretan. Pantas, selepas maghrib banyak orang yang lebih senang menunda kepergiannya ke luar kota dari pada harus masuk ke sarang preman (sebutan untuk terminal Cililitan). Meski ketika itu, petrus (penembakan misterius) sedang ramai-ramainya, namun angka kriminalitas di kawasan ini tetap saja tinggi, seolah preman-preman itu nekat menantang pelor-pelor para sniper. Banyak yang bilang, terminal Cililitan adalah terminal paling rawan se-Jakarta. Namun sejak pemerintah memindahkan terminal bus luar kota ke Kampung Rambutan, grafik kriminalitas perlahan menurun dan para preman itu pun beramai-ramai mulai meningalkan terminal Cililitan untuk mencari lokasi baru.

Baik sekarang maupun dulu, dari atau ke pasar Djati Lama dapat ditempuh dengan sangat mudah karena meski lokasi daerah ini terletak di pinggiran namun kestrategisannya tak kalah dengan daerah-daerah lainnya di ibukota. Geografisnya saat itu ialah; di sebelah utara pasar Djati Lama terletak Pelabuhan Sunda Kelapa, di sebelah selatannya terletak kota Buitenzorgh (Bogor), Jawa Barat. Kemudian di sebelah barat, terletak pasar Cornelis Mesteer Jatinegara, lalu di sebelah timurnya, terletak kota Bekasi, Jawa Barat. Mereka Belanda penjajah itu yang sengaja membuatnya menjadi strategis dengan membuat ruas jalan lurus-lurus menuju beberapa kota dan sejumlah kawasan tadi.

Keberadaan pasar Djati Lama ketika itu terlalu ngetrend bagi penduduk yang tinggal di timur Batavia. Penduduk menganggap pasar itu lebih dari sekedar tempat jual beli. Pergi ke pasar Djati Lama bagi para ibu-ibu dan gadis-gadis remaja layaknya berpergian ke tempat-tempat rekreasi. Di pasar itu mereka berbelanja dengan riangnya sambil jalan-jalan menikmati keramaian. Hanya dengan begitu nampak mereka sudah terhibur sekali. Sementara lengak-lenggok gadis-gadis londo yang juga sedang berbelanja di sana tidak begitu saja dilewatkan para pria mata keranjang baik dari kalangan pribumi maupun dari kalangan komunitas pirang sendiri.

Di sekitar pasar Djati Lama, banyak andong yang mangkal berbaris di sisi-sisi jalan. Suara ringkikan kudanya terkadang memekakkan telinga, tapi  kusir-kusir pribumi itu tetap saja tidak terbangun. Angin semilir dan cuaca nan sejuk telah melelapkan mereka dalam mimpi indah di atas andongnya masing-masing sambil mengeluarkan suara dengkur tak beraturan. Kebiasaan seperti ini adalah hal yang saban sari mereka lakukan sembari menunggu penumpang. Kebanyakan dari kusir-kusir itu adalah orang-orang Sunda dan Bekasi. Tidak tahu sudah berapa kali kuda-kuda mereka “buang air besar” sembarangan. Dan nampaknya mereka kusir-kusir itu tidak peduli dengan kondisi sekitarnya yang demikian. Kotoran kuda yang berserakan di situ sudah menjadi pemandangan sehari-hari di pasar Djati Lama. Baunya begitu menyengat hidung, tapi seperti halnya para kusir kuda, masyarakat sudah terbiasa dan tidak merasa terganggu dengan keadaan itu. Maka lengkap sudah alasan mengapa pasar Djati Lama dinobatkan sebagai salah satu pusat niaga tradisional.

Sekian lama kegiatan jual beli berlangsung di pasar Djati Lama dengan aman. Beberapa puluh tahun lalu suasana aman itu seketika lenyap manakala terjadi peristiwa hujan bom dan peluru yang dimuntahkan dari pesawat-pesawat Jepang, tepatnya pada tahun 1942. Peristiwa itu telah membuat seisi pasar berubah menjadi debu dan kabut mesiu. Jepang dengan pesawat-pesawat tempurnya membombardir Tjililitan tanpa kenal ampun. Jepang berharap dengan melumpuhkan titik militer Belanda yang berada di Lapangan Udara Tjililitan (Halim Perdana Kusuma) akan membuat mereka semakin cepat merebut Indonesia dari tangan Belanda. 

Sepekan setelah peristiwa itu para pedagang baru berani kembali berjualan di pasar, tapi letak pasar Djati Lama bergeser sedikit dari tempatnya semula. Selanjutnya laju pembangunan yang demikian pesat pada akhirnya memaksa pasar tersebut harus kembali bergeser lebih jauh. Pada tahun 1974, atas Intruksi Presiden (Inpres), pemerintah mengalokasikan pasar Djati Lama ke daerah Djati Baru, yang berjarak tidak jauh dengan pasar Djati lama (sekarang pasar Inpres Kramat Jati). Pasar Inpres yang memiliki luas keseluruhan 14,7 hektar itu dikenal sangat buruk dalam hal ketertiban dan kebersihan. Jangan heran jika kalangan ekonomi menengah ke atas tidak berselera untuk mengunjunginya. Sejak diresmikan, kondisi pasar tersebut dari hari ke hari semakin semrawut. Selain suasananya yang terkesan jorok, pasar yang setiap malam selalu ramai dengan para pedagang hewan laut itu berubah menjadi area berbau bangkai setiap pagi hari.

Entah bagaimana asal muasal orang-orang menyebut daerah tersebut dengan nama pasar Djati Lama atau pasar Djati Baru. Tidak begitu jelas, namun nama-nama itu memang telah ada sejak dahulu kala. Konon, daerah tersebut (Djati Lama dan Djati Baru) dulunya adalah hutan belantara yang pernah ditumbuhi oleh lebatnya pepohonan jati. Sisa-sisa cerita itu masih dapat dilihat dengan keberadaan beberapa pohon jati di sekitar daerah tersebut yang tumbuh menjulang tinggi dan berdiameter dua kali pelukan tangan orang dewasa. Sayangnya, kesemua pohon-pohon jati itu telah ditebang beberapa tahun lalu tanpa alasan yang jelas atau barangkali karena dianggap mengganggu keindahan kota.  

You May Also Like

0 comments