Wan Ali, Godfather Tanah Betawi

Ada satu nama di wilayah Kebon Nanas Jakarta Timur yang sangat disegani pada era tahun 1950-an. Wan Ali namanya. Orangnya gagah, tubuhnya tinggi besar, berdada bidang, berkulit putih bersih dengan wajahnya yang rupawan. Ia lebih memilih kuda berwarna putih sebagai tunggangannya sehari-hari. Kalau sedang menunggang kuda salah-salah orang bisa mengira ia adalah orang Belanda yang tengah patroli keliling kampung.

Pemerintah RI tidak mengenalnya sebagai pahlawan, namun semua jawara Betawi yang hidup sejaman dengannya tahu kalau Wan Ali secara terang-terangan telah seringkali melakukan serangkaian perlawanan kepada pemerintah Belanda dan Jepang, sama seperti yang dilakukan para pahlawan lain. Bedanya, pemerintah Belanda dan Jepang tidak terlalu berani ambil resiko berhadapan dengan orang satu ini. Dan satu lagi, Wan Ali secara prinsip berseberangan dengan para jawara beraliran hitam.

Dunia Betawi saat itu mengenal Wan Ali sebagai pribadi yang pro jawara aliran putih dan berseberangan dengan aliran hitam. Meski sejarah secara akurat bercerita bahwa Wan Ali selama hidupnya nyaris tidak pernah melakukan kekerasan fisik baik terhadap jawara aliran hitam maupun terhadap para penjajah. Namun b
erurusan sama Wan Ali bisa berabe. Bisa jadi tambah tidak karuan. Bukan masalah takut atau berani, tapi lebih kepada beban moral dari rasa malu untuk melakukan tindak kejahatan. Tidak adanya benturan berarti dengan pihak penjajah disebabkan oleh aktifitas keseharian Wan Ali yang memang jarang bersentuhan dengan bule-bule kulit putih itu. Dan entah kenapa pemerintah penjajah lebih memilih mendiamkan gerakan ekstrimis yang dilakukan Wan Ali dan pura-pura tidak tahu dari pada harus berhadapan langsung dengan Jantung Kekuatan Tiada Tanding..!!  

Ternyata Wan Ali memiliki trik sendiri yang tidak dimiliki orang kebanyakan untuk menaklukkan penjajah Jepang dan Belanda. Wan Ali menguasai sebuah ilmu 'sumber intisari bumi' hingga dirinya sanggup menaklukkan manusia, jin, atau siapapun yang diinginkan. Pada sebuah kondisi Wan Ali bukan saja mampu menaklukkan seabreg-abreg jawara yang bertebaran se-Batavia tapi sanggup pula menduduki beberapa wilayah penting yang menjadi pusat kekuatan militer penjajah di Betawi tanpa ada yang berani mengganggu gugat seperti wilayah Meester Cornelis, Senen, Kwitang, Kebon Coklat, Kebon Nanas, dan Bekasi. Centeng-centeng yang menjadi kaki tangan Belanda dan tuan tanah akhirnya secara utuh mengakui ke-godfather-annya seorang Wan Ali yang sangat dikenal sebagai sosok dermawan, relijius, berjiwa sosial dan patriot.

Wan Ali dalam hidupnya memang dikenal sebagai Jawara nomor wahid yang seringkali membantu banyak orang. Siapapun yang membutuhkan uluran tangannya akan dibantu tanpa pandang bulu. Untuk yang tidak mampu Wan Ali biasa membantunya dengan uang, pakaian, dan makanan. Sementara untuk kalangan yang mampu Wan Ali membantunya dengan petuah dan bantuan-bantuan lainnya sesuai yang dibutuhkan.  


Banyak kalangan Ulama dan Kiyai mengenal baik kepribadian Wan Ali bahkan sangat menghormatinya. Intimidasi SARA yang dilakukan pemerintah Jepang terhadap aktifis reliji islam perlahan sudah jarang terjadi karena Wan Ali secara tiba-tiba muncul untuk membela, bukan setengah-setengah, tapi membela secara mati-matian. Kepada para penjajah Wan Ali hanya mengenal 2 kata, membela bangsa ini dan membela agamanya. Keberaniannya dalam membela agama dan bangsa diambang batas nekat. Orang lain masih ada rasa takut mati tapi Wan Ali seolah tidak pernah dilahirkan dengan rasa takut. 

Di usia senjanya, Wan Ali tidak pernah berhenti disambangi banyak tamu yang datang dari mana saja untuk meminta tuntunan hidup atau mengharapkan petuah dan saran dari masalah-masalah yang mereka hadapi. Dan setelah bertemu dengan Wan Ali masalah mereka pun selesai. Entah amalan apa yang dimiliki Wan Ali hingga mampu melakukan hal-hal yang jarang bisa dilakukan orang kebanyakan. Jika kemampuan yang dimiliki Wan Ali bertujuan untuk menggaet pembesar negeri nyatanya Wan Ali justru tidak pernah mau kenal dengan mereka dan tidak menerima sedikitpun pemberian dari mereka. Hidup Wan Ali bersahaja. Tidak rumah mewah, tidak pula mobil mewah. Adanya cuma motor Honda CB 90. Itupun dipakai salah seorang putra Wan Ali, dan sesekali digunakan untuk mengantar Wan Ali jika ada keperluan. 


Wan Ali juga memiliki becak dengan tukang kayuhnya yang setia bernama Sikin. Setiap pagi dan sore, nyaris tidak pernah absen Wan Ali selalu sempatkan diri berkeliling kampung membagi-bagikan uang kepada siapa saja yang ditemuinya, terutama anak-anak kecil. Dirumahnya, di Pasar Sawo, Kebon Nanas, Wan Ali memiliki beberapa buah lemari yang penuh berisi seprei dan sarung. Hampir setiap hari Wan Ali membagi-bagikan uang, sarung dan seprei kepada banyak orang. Jika persediaan sarung dan seprei habis maka Wan Ali akan memerintahkan orang terdekatnya untuk membelinya dan memenuhi lemarinya kembali dengan seprei dan sarung untuk stok persediaan. Di setiap hari Jumat Wan Ali akan mengadakan acara jamuan makan dengan undangan banyak orang untuk mencicipi jamuan makan yang disediakan Wan Ali secara gratis.

Wan Ali wafat di bulan Mei 1997. Ribuan orang dari segala lapisan masyarakat datang untuk melayat. Jalan-jalan di Kebon Nanas sesak dipenuhi lautan manusia. Derai air mata membanjir dan tangisan meledak riuh, menandakan rasa kehilangan dan kesedihan serta duka mendalam...


You May Also Like

1 comments

  1. Alhamdulillah saya pernah merasakan kebaikan beliau dan pernah melihat dan mencium tangan beliau, beliau sangat dermawan dan sangat baik, Alfaatihah Ilaa Ruuh Al Habib Ali bin Abdul Qodir Al Haddad, Lahul Faatihah

    BalasHapus