Keramat
Djati akhir abad 18. Kesulitan dan himpitan ekonomi yang tak kunjung usai dan
terus mendera penduduk yang dilakukan kolonial Belanda di bumi Keramat Jati
selama ratusan tahun sesungguhnya membuat para penduduk yang tadinya polos dan
lugu mulai berpikir dan mencari solusi untuk keluar dari belenggu penjajahan
yang justru terjadi di tanah kelahiran mereka sendiri, lalu ada gejolak
patriotisme yang mulai tumbuh di dada para penduduk yang dimunculkan oleh para tokoh
spiritual setempat seperti Habib Muhsin Al Attas atau cermin perjuangan rakyat
di daerah pesisir seperti Fatahillah.
Tokoh-tokoh bersih ini rupanya sanggup
merubah kepulan asap perlawanan di hati masyarakat menjadi api yang
berkobar-kobar. Dan patriotisme yang sudah kepalang kertakkan geraham itu siap balas
menggebuk tirani kolonial.
Dalam waktu singkat, muncul sejumlah putra-putra kampung
yang sudah mulai berani unjuk gigi menentang segala kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah Belanda. Tentunya dengan resiko kepala akan dipancung atau disiksa
di atas panggung, di pelataran gedung gubernemen, atau di muka khalayak ramai.
Sepak terjang yang suci di mata hukum penjajah akan berubah menjadi tindakan
kriminil, dan sanksi-sanksi yang dijatuhkan penjajah kepada para “pemberontak”
bukan sanksi justice melainkan “kejahatan
perang” dan intimidasi yang kelak akan berdampak buruk bagi psikologi
masyarakat bangsa ini secara berkepanjangan. Padahal rakyat hanya berkata “Ini tanahku”, tapi penjajah malah menjawabnya dengan berteriak, “Memangnya kenapa kalau kami merampok hasil bumi dari tanahmu,
kamu mau melawan hah...!?”. Rakyat tundukkan wajah. Rakyat cuma bisa diam seribu bahasa,
mungkin mereka bodoh, atau mungkin juga mereka takut dengan todongan senapan
marsose yang tiba-tiba bisa menyalak. “Dasar
sapi...!” maki penjajah masih kurang puas, seperti yang sering dilontarkan mantri-mantri
polisi pada penduduk. Dan gagang senapan marsose itu akhirnya tidak menyalak
tapi membuat dahi-dahi warga Condet mengucurkan darah segar.
Keberanian dan tekad mereka dalam menentang segala
kebijakan penjajah yang memberatkan masyarakat adalah implementasi yang mengacu
pada sebuah perjuangan senior-senior mereka dahulu. Entong
Gendut, seorang putra kampung yang gagah berani dan sakti mandraguna tiba-tiba
muncul sebagai ikon pahlawan Condet, bahkan Keramat Djati. Seperti sebuah
bayangan meriam yang setiap saat bisa meletus. Ia bertubuh agak tambun, ia menyebut
dirinya sendiri “Raja Muda”. Sebagian besar tetua Condet cukup banyak mengetahui
sejarah Entong Gendut. Ia ada sebagai simbol perlawanan terhadap hegemonial
pemerintahan Hindia Belanda. Ia hidup selalu menjadi obor penentangan penjajah,
maka selama itu pula semangat perjuangannya tetap hidup di dalam setiap hati masyarakat.
Semangat itu tak akan pernah padam walau harus mati berkalang tanah. Sungguh demang-demang
dan para centeng pro Belanda memusuhinya karena ia terlalu berani bersikap
kurang ajar terhadap kebijakan-kebijakan “bos”nya.
Sama seperti pemuda-pemuda Betawi lain Entong Gendut ke
mana-mana selalu memakai celana komprang dan songkok hitam dengan sarung butut
yang selalu diselempangkan di dada. Hanya ketika akan bertarung baru sarung
butut itu diikatkan di pinggangnya. Anak buah Entong Gendut adalah pemuda-pemuda
setempat yang kesemuanya memiliki kepandaian silat tingkat tinggi. Rasa takut
penduduk itupun sirna seketika saat mereka melihat bagaimana peluru-peluru
marsose itu tak sanggup menembus dada Entong Gendut, malah mereka melihat
seulas senyum mengejek di bibir Entong Gendut saat ia merobohkan puluhan
marsose dengan tinjunya.
Panggung sejarah mulai merekam aksi Entong Gendut pada
tahun 1912, yaitu saat Landrad di Mesteer
Cornelis (sekarang pasar Jatinegara) memberlakukan peraturan yang berkaitan dengan
keagrariaan yang pada zaman itu lebih dikenal dengan istilah Tuan Tanah. Maka Jaan Ameen Tuan Tanah
untuk sub distrik Pasar Rebo yang kerap melayangkan pengaduan ke Landrad
perihal tunggakan upeti hasil bumi penduduk Condet dinilai terlalu manja.
Pengaduan itu berakibat disitanya rumah-rumah dan tanah-tanah penduduk Condet,
bahkan tak sedikit rumah penduduk yang dibakar. Aksi sewenang-wenang ini
semakin merajalela. Penduduk mulai marah, dan puncak kekecewaan penduduk
terjadi pada tahun 1914. Gubernemen menjatuhkan sanski pada seorang penduduk
Condet untuk membayar denda sejumlah 7.20 Gulden atau kalau
tidak pihak Gubernemen akan menyita semua miliknya. Penduduk Condet bertambah marah,
konsentrasi massa mulai terjadi dan semakin meluas pada hari eksekusi. Penduduk
terhukum itu menyerah, ia tidak sanggup membayar denda. Semua harta bendanya
disita oleh Gubernemen dan terlambat untuk bisa diselamatkan. Selanjutnya satu
persatu para tokoh reformasi dan para penduduk yang mencoba memperjuangkan
hak-haknya ditangkapi dan disiksa para marsose. Entah sudah berapa jumlah
penduduk yang ditangkapi. Namun, tindakan penyiksaan itu terus berlanjut. Salah
satu tokoh yang pernah disiksa Belanda adalah bang Latip, seorang warga Condet
yang tergolong nekat. Serdadu Belanda merendamnya di rawa-rawa Asem Baris (sekarang pool taksi Gamya) selama sehari semalam tanpa
diberi makan dan minum. Entong Gendut tahu itu, lehernya menggelembung, ia terlihat
begitu marah. Ia mencoba bertahan pada taktik perjuangannya, tapi kali ini
sudah tak lagi dapat berpangku tangan menyaksikan semua itu. jiwanya bergejolak
dan kesabarannya sudah benar-benar habis.
Malamnya, di tengah suasana yang masih panas Entong
Gendut membubarkan pertunjukan topeng yang diadakan
Jaan Ameen di landhuis Tanjung Oost (sekarang
Gedong tinggi). Tindakan Entong Gendut membuat Jaan Ameen tersinggung. Ia
mengadukannya pada pihak Gubernemen. Pengaduan tersebut langsung ditanggapi
pihak pejabat landrad Meester Cornelis yang langsung memanggil Entong Gendut
untuk datang menghadap, tapi Entong Gendut tidak mau. Dipimpin oleh Demang dan
mantri polisi, sejumlah marsose dikerahkan untuk “memberi pelajaran” pada pria
berjuluk Raja Muda ini.
Di rumahnya, di Batu Ampar, Entong Gendut duduk santai
menyambut utusan gubernemen itu. Ada bang Awab dan bang Maliki, karib Entong
Gendut dengan puluhan pemuda yang telah bersiap dengan hunusan goloknya. Utusan
Gubernemen bertanya pada Entong Gendut, mengapa ia berani membubarkan
pertunjukan topeng yang sedang berlangsung. “Demi agama yang saya anut” katanya
singkat tapi lugas. “Di sana marak praktek perjudian”, sambungnya geram. Sesaat
kemudian terjadi perdebatan. Entong Gendut menyalahkan Gubernemen yang terlalu
memihak pada kepentingan Belanda dan mengecam kebijakan-kebijakan mereka yang
banyak merugikan penduduk. Utusan Gubernemen tidak siap untuk disudutkan, mereka
murka. Suasana semakin memanas, Entong Gendut berteriak, “Aya gedruk ni tanah bakal jadi laut...!”. Namun mereka
tidak berani bertindak konyol. Entong Gendut dan pasukan berani matinya itu berada
di atas angin.
Setelah peristiwa itu wajah kepemerintahan kolonial
Belanda pun mengarah ke Condet. Wajah-wajah penguasa itu begitu suram, sesuram
masa depan kekuasaan mereka yang mulai terancam akibat serangkaian
pemberontakan yang dilakukan Entong Gendut. Lalu tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh sepucuk surat dari Entong Gendut, di dalam suratnya, gantian Entong Gendut
yang memanggil pejabat Gubernemen untuk menghadap dirinya, alias Raja muda,
alias Entong Gendut untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang mereka
lakukan pada penduduk Condet. Jelas institusi Gubernemen yang begitu agung merasa
diinjak-injak. Belanda tidak tinggal diam, mereka mempersiapkan sejumlah
pasukan untuk sebuah operasi. Tentu Entong Gendut sebagai Target Operasi mereka,
sementara pasukannya akan dilibas habis.
Operasi
Penangkapan Entong Gendut Dkk.
Masih
di bulan April 1916, selama dua hari setelah Entong Gendut mengirimkan suratnya ke Gubernemen,
militer Belanda mengerahkan serdadunya untuk operasi penangkapan Entong Gendut.
Sesungguhnya penentangan yang dilakukan penduduk terhadap segala kebijakan
Belanda telah membuat pemerintah Hindia Belanda murka. Mereka paham betul karakter
inlander. Selama ini inlander Condet begitu patuh terhadap segala
kebijakan yang telah diatur pemerintah Belanda, tapi sekarang kepatuhan itu
telah berubah menjadi pembangkangan. Pihak Belanda curiga bahwa perubahan itu
tidak muncul dengan sendirinya, pasti ada yang sengaja merubahnya. Tujuannya untuk
penghapusan devisa pemerintah Belanda. Dan Entong Gendut adalah biang keladi
dari semuanya. Para mantri polisi dan Wedana yang langsung memimpin operasi
penangkapan Entong Gendut. Mereka para marsose itu mengepung rumah Entong
Gendut, Wedana berteriak lantang memerintahkan Entong Gendut menyerah. Moncong-moncong
senapan sudah mengarah ke sasaran, hanya tinggal menunggu aba-aba. Tapi konsentrasi
massa yang terdiri dari para pemuda Condet berilmu tinggi telah bersiap di
hadapan mereka. Di dalam rumah, Entong Gendut malah bersembahyang dengan tenangnya,
suara-suara teriakan wedana itu sama sekali tak mengganggu konsentrasi ibadah
si Raja Muda. Sepertinya ia sengaja membiarkan pasukan Belanda berlama-lama
menunggu.
Setelah sembahyang Entong Gendut keluar. Di tangannya ia
menggenggam tombak ditutupi kain putih, goloknya yang setia itu nampak terselip
di pinggang. Di tangan satunya lagi ada bendera merah dengan gambar bulan sabit
berwarna putih. Sorot matanya begitu berani, menatap tajam ke arah wedana dan
marsose-marsose yang mulai diliputi rasa takut. Ia membalas teriakan wedana
dengan mengatakan bahwa dirinya tidak akan tunduk pada siapapun termasuk
Belanda. “Sabilullah..., sabilullah...!” pasukannya
mengamini. Pertempuran tak dapat dihindarkan. Tapi kemenangan ada di pihak
Entong Gendut. Marsose-marsose banyak yang mati, wedana pun menjadi tawanan.
Wafatnya
Entong Gendut
Dan bukan main marahnya Belanda ketika mengetahui wedana
telah ditawan dan marsose-marsose yang diandalkan itu harus menemui kematian
begitu rupa ditangan penduduk yang hanya mengandalkan tangan kosong atau golok-golok
jelek, pendek dan sudah berkarat. Bala bantuan berkekuatan besar segera
didatangkan. Hari itu Belanda benar-benar mengerahkan kekuatan penuh untuk
melumpuhkan Entong Gendut. Kali ini mereka menerapkan siasat baru. Dan Entong
Gendut sengaja telah dijebak. Jawara Condet sakti itu tidak menyadari siasat
baru operasi penangkapan yang diterapkan Belanda. Di Balekambang, di tepi anak
sungai Ciliwung, insiden berdarah paling dahsyat di Condet itupun terjadi.
Maka, sepandai pandai tupai melompat pasti jatuh juga.
Setiap ada kekuatan pasti ada kelemahan. Dua kalimat ini berkaitan dengan
Entong Gendut, mengandung makna pasrah menerima kekalahan atas kebatilan walau
kadang sedang berdiri di posisi yang benar. Tega-teganya para spionase busuk
dari kalangan pribumi itu membocorkan informasi gerakan bawah tanah yang sedang
diprakarsai warga Condet demi kemerdekaan daerah dan bangsanya sendiri. Padahal
Belanda hanya mengupahnya dengan uang yang jumlahnya tak seberapa. Lewat sebuah
insiden di anak sungai Ciliwung, kampung Balekambang, para marsose yang telah
menemukan kelemahan Entong Gendut itupun mengakhiri sepak terjang pahlawan
Condet untuk selama-lamanya.
Semula para marsose sempat dipukul mundur, mereka berlarian
kocar kacir menyeberangi anak sungai Ciliwung. Entong Gendut berusaha mengejar,
tapi kawan-kawan Entong Gendut memperingati agar tidak ikut menyeberangi sungai.
Emosi sudah naik ke ubun-ubun, Entong Gendut tidak lagi menggubris peringatan
kawan-kawannya. Ia tetap berenang menyeberangi sungai mengejar para marsose. Dan
memang itu rencana yang diinginkan Belanda, yaitu membunuh Entong Gendut saat
berada di sungai. Rahasia kelemahan Entong Gendut yang telah diketahui pihak
Belanda itu adalah bocoran informasi dari pengkhianat bangsa kepada pihak
Belanda bahwa Entong Gendut hanya bisa dibunuh saat berada di dalam sungai.
Hari itu keberuntungan tidak sedang berpihak pada Entong Gendut. Dan pada hari
itu Entong Gendut harus tewas diberondong oleh peluru-peluru laknat marsose.
Berita tewasnya Entong Gendut dengan cepat tersiar di
seluruh kampung. Seluruh warga Kramat Jati, khususnya kampung Condet berkabung
atas wafatnya pahlawan kebanggaan mereka. Suasana duka mendalam menyelimuti Condet.
Sebaliknya, pihak Belanda dan gubernemen bersorak sorai kegirangan karena telah
membunuh provokator yang selama ini sulit untuk ditangkap. Di landrad-landrad,
dentingan “toast” gelas para pejabat militer Belanda mewarnai suasana perayaan
kesuksesan penumpasan Entong Gendut. Akan tetapi, di luar sana sebuah peristiwa
fenomenal telah terjadi. Ketika jenazah Entong Gendut yang terbungkus tikar
diusung warga dengan pengawalan ketat para marsose, lalu jenazah itu diletakkan
di suatu tempat. Ada beberapa versi yang menjelaskan tempat tersebut. Sebuah
sumber mengatakan, tempat itu adalah rumah Entong Gendut. Sumber lain
menyebutkan tempat itu semacam hospital atau klinik. Namun terlepas dari berbagai
versi itu, jenazah Entong Gendut tiba-tiba hilang secara misterius. Para
marsose berikut penduduk yang ikut menyaksikan kejadian itu terhenyak seolah
tak percaya apa yang mereka lihat. Bukan itu saja, mereka semua berusaha
mencari ke mana jenazah penuh lumuran darah itu. Tapi yang dicari tidak juga
ditemukan. Jenazah Entong Gendut raib bagai ditelan bumi. Akhirnya pencarian
pun dinyatakan selesai oleh pihak Belanda. Setelah itu aktifitas kembali
berjalan seperti biasa, denyut pemberontakan tak lagi pernah terdengar di
kampung Condet, yaitu penduduk yang berada dalam kungkungan intimidasi dengan
terpaksa kembali menyetor upeti penghasilan pada pihak Belanda.
Setelah Entong Gendut menghilang, Belanda semakin gencar
melancarkan aksinya menangkapi para penduduk yang pernah mendukung Entong
Gendut. Para marsose petantang-petenteng keluar masuk
kampung, menggeledah rumah-rumah yang menurut penjajah termasuk daftar buronan
pemerintah. Penangkapan demi penangkapan berjalan mulus karena sudah tidak ada
lagi sosok hero yang membela
penduduk. Rasa takut pun selalu melanda. Suasana yang semula tenang seketika
berubah mencekam. Hampir tiap hari ada saja warga setempat yang ditangkap.
Mungkin kita akan terilustrasi situasi waktu itu lewat sebuah pantun warga
Condet yang cukup populer.
Ular kadut mati di kobak
Burung betet makanin laron
Entong Gendut mati ditembak
Orang Condet pada buron
Seiring waktu berjalan, baik warga maupun pihak Belanda
telah melupakan peristiwa hilangnya Entong Gendut. Belanda merasa yakin bahwa
Entong Gendut benar-benar telah tewas. Selang beberapa tahun kemudian, banyak
orang yang melihat Entong Gendut berada di daerah Purwakarta, Jawa Barat dalam
kondisi segar bugar.
Entong Gendut dengan segala keberaniannya menentang
kesewenang-wenangan Belanda bukan hanya dianggap sebagai pahlawan kampung, tapi
sesungguhnya dia lebih pantas disebut sebagai pahlawan bangsa dan negara.
Jasanya akan selalu dikenang warga Condet, jiwa perjuangannya akan selalu
menyala di hati masyarakat. Mati satu Entong Gendut akan tumbuh seribu Entong
Gendut. Hilang kesaktian dari satu orang akan tumbuh kesaktian dari seribu orang.
Selamat jalan Entong Gendut, semoga arwahmu diterima di sisi Tuhan.