Monyet Liar Condet
Pada tahun 1950-an, ketika kita memasuki kawasan Condet
dengan becak, andong, atau dengan berjalan kaki masuk keluar kampung, segera
kita akan menyaksikan pemandangan menakjubkan. Ratusan bahkan ribuan
monyet-monyet liar berkeliaran dihadapan kita tanpa sedikitpun ada rasa takut
pada manusia. Mereka bergelayutan di pohon-pohon, bercengkerama satu sama lain
sambil mencari kutu di kepala kawan-kawannya, atau mereka akan berbondong-bondong
turun dari pohon jika melihat manusia datang lalu menghampirinya. Monyet-monyet
itu akan duduk di hadapan kita, memandangi kita sambil sesekali menarik-narik
ujung bawah pakaian, mengharap agar kita memberinya sedikit makanan. Jika kita
memberinya makanan, mereka berebutan, saling tindih dan berteriak-teriak
mengeluarkan suara yang teramat nyaring. Itu adalah monyet liar Condet yang
akibat ketidakjelian pemerintah habitatnya lalai untuk dilindungi UU.
Monyet-monyet itu sering masuk ke pemukiman warga.
Bermain di atap rumah yang terbuat dari rumbai, turun naik saling
kejar-kejaran, atau bahkan masuk ke dalam rumah-rumah penduduk untuk mencuri
makanan. Mereka tinggal di pepohonan dan gua-gua sekitar tepian sungai
Balekambang. Jika mereka berkumpul di satu tempat, kita akan mengira tempat
tersebut adalah taman satwa. Dan jika mereka bermain di pohon-pohon, maka akan
terlihat seperti sekelompok kawanan burung yang sedang berterbangan dari satu
pohon ke pohon lain. Musim buah dukuh merupakan musim yang paling menguntungkan
buat mereka. Setiap hari rombongan monyet akan nangkring di batang dan
dahan pohon dukuh, menggerayangi
buahnya hingga habis.
Saat populasi para imigran semakin membanjiri kawasan
Condet dan daerah-daerah sekitarnya, lalu muncul polemik baru. Di antara para
imigran ada yang unjukkan sikap tidak bersahabat pada lingkungan. Habitat
monyet-monyet liar pun mulai terusik. Perlakuan mereka terhadap monyet-monyet
liar sangat berbeda dengan warga asli Condet. Ini adalah polemik antar manusia
dan hewan yang baru pertama kali terjadi di Condet. Tapi beban kesalahan bukan
selalu ada di pundak warga asli setempat yang harus bersikap tak bersahabat
terhadap para imigran. Kesalahan juga bukan dari monyet-monyet itu yang tidak mengerti
apa-apa. Mereka para imigran tidak terbiasa dengan gangguan monyet-monyet yang
menurut mereka sudah keliwatan. Dan mereka menanggulangi polemik ini dengan
caranya sendiri. Mengusir dan menembaki monyet-monyet liar itu dengan senapan
atau katapel. Hampir tiap hari ada saja monyet-monyet liar yang mati tertembak
atau tertangkap akibat ulah para imigran. Dan mudah ditebak, aksi para imigran
yang agak brutal itu telah membuat monyet-monyet liar jadi ketakutan.
Ketidaknyamanan pun semakin bertambah manakala lokasi-lokasi hunian mereka
semakin dipadati pemukiman-pemukiman manusia. Pada akhirnya monyet-monyet
tersebut melarikan diri dan menghilang entah ke mana.
Asal-usul
Monyet
Tentunya ada rasa heran, dari mana asal-usul
monyet tersebut. Bagaimana mereka bisa beranak pinak di Condet hingga mencapai
jumlah ribuan. Jarang ada tetua Condet yang dapat mengungkapkan kisahnya secara
persis. Tidak sedikit di antara sebagian tetua Condet hanya bisa menjawab hanya
dengan gelengan kepala, atau paling tidak mereka menjawab, dari dulu daerah
Condet dikenal memiliki kekayaan fauna. Semula penelitian tentang monyet liar
ini sempat menemui jalan buntu, namun teka-teki itu mulai terkuak. Ternyata
dari sekian banyak para tetua di Condet, terdapat beberapa orang yang
mengetahui asal muasal monyet-monyet liar. Meski ceritanya tidak detail, tapi
setidaknya bisa memberikan gambaran pada kita tentang alur sebuah cerita.
Sekitar awal tahun 1950-an, pernah ada seorang pengusaha
yang bergerak di bidang pengiriman hewan ke mancanegara. Salah satu jenis hewan
yang dikirim adalah kera atau monyet. Monyet-monyet yang akan diekspor ke
mancanegara itu diambil dari berbagai daerah, seperti Lampung, Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Selanjutnya monyet-monyet liar itu ditampung terlebih
dahulu di suatu tempat di daerah Batu Ampar Condet yang di dalamnya terdapat
kandang-kandang berukuran besar-besar. Saat itu, pangsa pasar monyet lokal di
mancanegara begitu tinggi dan harga jualnya pun cukup bagus. Monyet Condet
sendiri ketika itu jumlahnya masih sangat sedikit dan tidak akan bisa memenuhi
target ekspor, sementara permintaan ekspor monyet terus meningkat.
Penampungan monyet di daerah Batu Ampar memang terkesan tertutup serta dibatasi oleh pagar tinggi, yang sekiranya orang luar tidak bisa melihat ke dalam. Lagi pula tempat tersebut dikelilingi kebon yang juga telah dipagari. Dengan demikian, tidak banyak warga setempat yang mengetahui kegiatan apa yang tengah berlangsung di lokasi kandang tersebut. Tapi, dari kejauhan mereka sering mendengar suara teriakan monyet-monyet dari dalam sana. Kepolosan warga setempat membatasi alam pikir mereka untuk mencari tahu lebih jauh. Mereka cuma berpikir suara itu berasal dari monyet peliharaan orang kaya pemilik tempat itu. Orang-orang kampung tidak tahu jika tempat tersebut sebenarnya adalah penampungan monyet-monyet liar terbesar untuk diekspor. Mereka hanya sering melihat truk-truk besar yang bak belakangnya ditutupi terpal keluar masuk tempat itu.
Penampungan monyet di daerah Batu Ampar memang terkesan tertutup serta dibatasi oleh pagar tinggi, yang sekiranya orang luar tidak bisa melihat ke dalam. Lagi pula tempat tersebut dikelilingi kebon yang juga telah dipagari. Dengan demikian, tidak banyak warga setempat yang mengetahui kegiatan apa yang tengah berlangsung di lokasi kandang tersebut. Tapi, dari kejauhan mereka sering mendengar suara teriakan monyet-monyet dari dalam sana. Kepolosan warga setempat membatasi alam pikir mereka untuk mencari tahu lebih jauh. Mereka cuma berpikir suara itu berasal dari monyet peliharaan orang kaya pemilik tempat itu. Orang-orang kampung tidak tahu jika tempat tersebut sebenarnya adalah penampungan monyet-monyet liar terbesar untuk diekspor. Mereka hanya sering melihat truk-truk besar yang bak belakangnya ditutupi terpal keluar masuk tempat itu.
Di rumah tersebut, ribuan monyet-monyet itu ditampung, diberi vitamin dan gizi oleh
para penjaganya. Mereka akan meng-karantinakan monyet-monyet yang sakit. Jika penyakitnya
tidak tertanggulangi para penjaga itu akan langsung membuang monyet-monyet itu
keluar area kandang, atau jika tidak resikonya akan cepat menulari
monyet-monyet lain yang masih sehat. Monyet merupakan salah satu hewan cerdik. Seringkali
mereka berpura-pura sakit hingga penjaga-penjaga kandang terkelabui lalu
membuang monyet-monyet yang sakit itu ke luar lokasi kandang. Setelah berada di
luar kandang dan merasa telah bebas, monyet-monyet itu berlarian menuju
tempat-tempat yang aman atau menuju ke perkampungan penduduk.
Monyet-monyet liar Condet yang semula berjumlah ribuan
itu, mulai sepuluh tahun terakhir tidak lagi pernah nampak berkeliaran di
perkampungan-perkampungan penduduk. Seperti halnya masyarakat Betawi asli, globalisasi
rupanya juga telah memaksa sebagian besar monyet-monyet itu berimigrasi ke
sejumlah daerah yang berada di pinggiran Jakarta seperti Depok dan Bogor, di
mana proses imigrasi mereka lakukan dengan cara menyisiri anak sungai Ciliwung,
mereka berlompatan dari satu pohon ke pohon lain secara bergerombolan dan bertahap.
Diperkirakan sisa jumlah mereka saat ini tidak lebih dari 20 ekor, itupun tidak mudah dapat dijumpai, karena biasanya mereka menghindari keramaian atau lokasi-lokasi hunian manusia. Barangkali semenjak kepergiannya ke Depok dan Bogor monyet-monyet liar Condet itu telah menemukan hutan-hutan mini baru di sana yang dapat mereka jadikan lahan hunian baru yang tenang dengan alamnya yang bersahabat. Diperkirakan selama perjalanan ke kawasan hunian baru itu banyak monyet-monyet yang mati akibat proses imigrasi tersebut. Atau bisa jadi mereka sudah menjadi korban eksploitasi manusia.
Untuk menemukan sisa populasi monyet-monyet di Condet mungkin kita harus berlama-lama menunggu mereka di tepian sungai Balekambang jika memang masih mau melihat sekelompok kecil monyet-monyet liar Condet yang terkadang bermain di antara pepohonan bambu dan melinjo.
Diperkirakan sisa jumlah mereka saat ini tidak lebih dari 20 ekor, itupun tidak mudah dapat dijumpai, karena biasanya mereka menghindari keramaian atau lokasi-lokasi hunian manusia. Barangkali semenjak kepergiannya ke Depok dan Bogor monyet-monyet liar Condet itu telah menemukan hutan-hutan mini baru di sana yang dapat mereka jadikan lahan hunian baru yang tenang dengan alamnya yang bersahabat. Diperkirakan selama perjalanan ke kawasan hunian baru itu banyak monyet-monyet yang mati akibat proses imigrasi tersebut. Atau bisa jadi mereka sudah menjadi korban eksploitasi manusia.
Untuk menemukan sisa populasi monyet-monyet di Condet mungkin kita harus berlama-lama menunggu mereka di tepian sungai Balekambang jika memang masih mau melihat sekelompok kecil monyet-monyet liar Condet yang terkadang bermain di antara pepohonan bambu dan melinjo.
2 comments
Saya ingat saat masih tinggal di daerah pejaten setiap sabtu sore main ke sungai ciliwung dan sesekali melihat monyet bergelayutan, terkadang rumah yang dekat dengan sungai ciliwung di datangi ular sanca, dibalik semak - semak saya pernah menemukan burung hantu kecil , masih ada lagi teman saya sering mencari batu aki di pinggiran sungai, kejadian tersebut sekitar tahun 1984.
BalasHapusSekolah SD ane dulu, kebetulan berbatesan dgn kali Ciliwung yg membelah kawasan Condet. Sering melihat kala itu kawanan monyet bermain2 di atas pohon2 lebat di pinggiran Ciliwung, jumlah banyak sekali, hingga suara riuhnya kefengaran dari jauh. Sungai Ciliwung dulu (thn 80-an) msh lebar, airnya deras, pohon2 besar masih sangat lebat, msh angker pokoknya. Getek juga msh sering hilir mudik di sungai Ciliwung.
BalasHapus