Pandemi Ganas, Ribuan Bule Tewas Di Batavia

ribuan bule tewas akibat pandemi di Jakarta
 

Batavia, Januari 1733. Di pagi hari, ruas jalanan di pusat Batavia terlihat cukup ramai. Orang-orang memulai paginya dengan aktivitas hari-hari. Para pedagang pikulan tanpa alas kaki santai berjalan kaki hilir mudik menjajakan dagangan di antara lalu lalang orang-orang berambut pirang. Tak ada yang aneh berlaku di Batavia. Semua terlihat normal seperti biasanya. Namun di kantor Gubernemen, kerisauan tengah terjadi. Dirk van Cloon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Gouverneur-Generaal van Nederlands Indië) dirundung resah. Batavia baru setahun di bawah kuasanya tapi kini sedang didera pandemi Malaria.   

Malaria merupakan penyakit menular yang mematikan yang disebabkan gigitan nyamuk. Ini bukan penyakit bawaan dari negara lain, tapi muncul dari Batavia. Selama setahun saja di Batavia, sedikitnya terdapat 500 orang Belanda masuk liang kubur akibat Malaria, dan semakin hari jumlahnya semakin bertambah. Belanda masuk ke Batavia lebih banyak berbekal ilmu perdagangan dan militer. Mereka sangat tidak siap dijegal pendemi dadakan oleh penyakit yang tidak pernah ada di negara mereka. Kapasitas bekal medis mereka disiagakan hanya untuk pasien perorangan, bukan wabah massal bersamaan. Itu yang membuat rombongan VOC jadi kebingungan.

Kala itu banyak orang berpendapat, munculnya pandemi Malaria disebabkan tercemarnya sungai Ciliwung oleh berbagai limbah, terutama limbah kotoran manusia dan limbah dari pabrik gula. Pendapat boleh saja berkembang, tapi nyamuk dan jentiknya sepertinya sulit berkembang-biak di air yang mengalir. Apalagi sungai Ciliwung sehari-harinya dipadatkan oleh aktivitas warga untuk melintas dengan getek, sampan, berdagang, bahkan mandi dan mencuci pakaian. Hingga tahun 1990, sungai Ciliwung masih digunakan masyarakat untuk mencuci pakaian dan mandi.  

Batavia di abad 17, masih tergolong wilayah antah berantah. Rawa bertebaran di mana-mana. Rawa-rawa yang dikelilingi rapat oleh hutan dan semak belukar. Ini menjadi hunian nyaman para nyamuk Malaria. Kondisi ini semakin diperparah dengan geografi wilayah Batavia yang berada di dataran rendah karena memang letaknya berada di pesisir. Air dari curahan hujan atau air kiriman dari Buitenzorg (Bogor) membuat rawa-rawa selalu dipenuhi air. Kawasan rawa-rawa tersebut menjadi sarang jutaan nyamuk. Menjadi alasan kuat merebaknya pandemi Malaria di Batavia.

VOC dengan divisi medisnya berusaha mengatasi pandemi dengan keterbatasan sains dan teknologi yang mereka miliki. Banyak para ahli medis sengaja didatangkan dari Netherland untuk mengatasi kondisi tersebut, namun hingga masa jabatan Gubernur Jenderal Dirk van Cloon berakhir pada Maret 1735, pandemi tak tuntas tertanggulangi. Para bule itu fisiknya rentan terdampak pandemi. Belasan ribu orang Eropa dan Belanda positif terinfeksi. Ribuan lainnya sudah kehilangan nyawa. Oleh kebijakan VOC beberapa titik wilayah dijadikan area kuburan massal bagi orang-orang Belanda yang tewas karena pandemi.

Beberapa tahun orang-orang Belanda hidup dalam ketakutan. Mereka lapisi jendela rumahnya dengan kain agar tidak diterobos nyamuk. Setiap hari mereka lebih sering menutup jendela dari pada membukanya. Bahkan ranjang tidur mereka dipasang kelambu hingga dua lapis. Sementara menghadapi kondisi demikian, masyarakat pribuminya malah terkesan acuh tak acuh. Mereka jalani hidupnya tetap santai dengan senyumnya yang selalu terkembang. Pemukim Belanda menjadi bertambah bingung. Pandeminya menyebar luas tapi nyaris tidak ada pribumi yang terjangkit.

Selama 5 tahun sedikitnya 2000-3000 jiwa orang Eropa yang didominasi pegawai VOC telah melayang. Baru pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, pandemi di Batavia tahun 1738 sudah mulai terkendali. Meski demikian pada faktanya pandemi Malaria tak bisa benar-benar dituntaskan. Ribuan jiwa masih terus melayang setiap tahunnya. Dampak buruknya yang lain, VOC tak pernah berhenti merogoh kocek untuk mengatasi pandemi. Tak terkira besarnya kerugian yang diderita. Masa itu diketahui menjadi masa terburuk kesehatan sekaligus ekonomi bagi VOC. Selain pandemi Malaria, VOC juga digerogoti oleh  berbagai kasus korupsi, hingga pada tahun 1799 VOC terpaksa harus bubar dan mengakhiri masa kejayaannya.  


You May Also Like

0 comments