Penjara
menjadi babak kehidupan baru bagi Pi'i. Suasana di dalam sel nyatanya tak
berbeda jauh dengan kondisi keras di luar sana. Siapa yang jago dia yang
menang. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Rupanya ada juga jagoan penguasa di
penjara anak tersebut. Perawakannya tinggi besar, tubuhnya kekar tegap, kulitnya
sawo matang mengelam, suaranya meninggi setiap kali bicara. Tidak ada satupun
tahanan yang berani padanya. Tak segan-segan jagoan bocah itu melakukan
tindakan kekerasan bagi siapa saja yang menentang keinginannya. Tak terkecuali
pada Pi'i, tahanan baru yang memang empuk buat diplonco. Jika dibandingkan
fisik keduanya, jelas tubuh Pi'i jauh lebih kecil dan lebih pendek. Keduanya nampak
sudah berhadapan satu sama lain. Semua yang melihat ketegangan itu akan mengira
sebuah duel yang tidak sebanding. Hanya dalam beberapa gebrakan saja dipastikan
Pi'i akan babak belur dihantam si jagoan dengan tulang patah serta remuk di
beberapa bagian. Faktanya, sejurus kemudian si jagoan yang justru terjerembab
dan terkapar tak berdaya. Beberapa tahanan dan sipir turut membantu mengangkat
tubuh si jagoan dari lantai untuk kemudian diobati dan dirawat.
Peristiwa
pertarungan itu berlangsung singkat, namun cukup menjadi topik pembicaraan
hangat di antara para tahanan dan sipir selama berminggu-minggu. Bukan hanya terkejut
karena kekalahan si penguasa sel yang memiliki badan besar, tapi gaya bertarung
Pi'i yang menjadi sorotan. Tubuhnya secepat kilat melesat ke depan lalu
tiba-tiba beberapa pukulan keras yang saking cepatnya nyaris tidak terlihat
mata sudah mendarat telak di beberapa bagian tubuh si Jagoan. Sejak hari itu,
Pi'i menjadi sosok baru yang paling ditakuti seluruh penghuni penjara, bahkan
aksinya itu terdengar hingga ke kawasan Senen.
Tahun 1935 merupakan
tahun kebebasan Pi'i setelah beberapa tahun mendekam di penjara. Ia kembali ke
Senen, tempat di mana keluarganya berada. Teman-temannya menyambut kedatangan
Pi'i dengan suka cita. Usai melepas rindu di Senen, ia segera berangkat menuju
Kebon Nanas untuk menemui Tuan Sayyid Kadir, sosok penting yang telah ia anggap
sebagai guru sekaligus orang tua. Pertemuan itu hanya diwarnai sedikit obrolan,
karena sejatinya tidak ada perbincangan panjang saat berkesempatan menemui Wan
Kadir. Hanya sesekali bicara, itupun sekedar obrolan singkat. Wan Kadir diketahui
sebagai sosok yang tidak banyak bicara tapi meski begitu Pi'i kembali merasakan
getaran energi bergelombang halus saat berada di dekat Wan Kadir. Ada aura dan kekuatan
yang menyentuh kalbu, jiwa, lalu kemudian fisiknya. Pi'i mendapat perintah langsung
dari Wan Kadir untuk berkelana menimba ilmu dan pengalaman di luar sana.
Setelah keluar dari penjara Pi'i memang jarang berada di rumah. Sesuai perintah Wan Kadir ia pergi merantau ke sejumlah daerah yang dikenal sebagai daerah tempat orang-orang jago berada. Daerah Banten utamanya. Puas berkenalan dengan para tokoh jago Banten, ia terus menyisir pulau Jawa hingga ke ujung Timurnya. Lombok dan Bali juga tak luput dijajalnya. Ia sempat pula berlayar ke Kalimantan dan bertemu para tokoh sakti suku Dayak. Sejujurnya tidak ada yang dilakukan Pi'i dari beberapa tahun perjalanan kelilingnya itu kecuali menjajal para tokoh sakti sekaligus belajar dari para tokoh sakti. Dan memang demikian yang selalu dilakukan para jawara saat itu. Di tengah pengembaraannya, Pi'i dipinggil pulang ke Batavia oleh Wan Kadir.