Gambar Ilustrasi |
Buaya korban pembunuhan itu berjenis kelamin perempuan, usianya sudah dewasa, berkisar 25 tahun. Sejak awal ditemukan, kondisinya sangat mengenaskan, keluarga Ki Nyamuk langsung turun tangan membantu pengurusan jenazahnya, memandikan dan membersihkan luka-luka di sekujur tubuhnya. Setelah itu dikafani lalu dikuburkan dengan prosesi layaknya manusia biasa. Oleh Ki Nyamuk buaya perempuan tersebut diberinama Tukijem.
Kisah ini akan memundurkan waktu hingga tahun 1980-an. Siang hari itu nampak manusia memadati di sepanjang bantaran Kali Baru yang berada di depan Pasar Induk, Kramat Jati, Jakarta Timur. Mereka menonton aksi sejumlah massa yang tengah mengepung seekor buaya yang katanya tiba-tiba muncul di kali tersebut. Ukuran panjang tubuhnya sekitar 2,5 meter. Sepertinya buaya yang baru beranjak dewasa.
Massa merangsek turun menyerang buaya dari segala arah dengan tombak kayu, batu, atau parang. Yang cukup mengejutkan, meski tergolong hewan buas namun saat diserang membabi buta buaya itu sama sekali tidak menunjukkan sikap agresif. Ia malah memilih menghindar dan bersembunyi di dalam air. Sayangnya, kali tersebut dangkal hingga ia dengan mudah kembali diserang. Keberadaan buaya di kali tersebut telah memancing orang-orang semakin banyak yang datang.
Di awal, serangan tombak berkali-kali meleset. Buaya menghindari serangan dengan lincah. Namun tak berapa lama kemudian sebuah tombak kayu berhasil menghujam tepat di bagian bawah punggung buaya. Sementara bebatuan sebesar kepalan tangan yang dilempari massa terus menerus menghujani tubuhnya. Gerakan buaya tersebut mulai melamban. Kedua matanya terlihat sayu, tapi aneh kedua matanya bisa berkedip-kedip lalu menyapu ke arah massa. Jelas menyiratkan sebuah makna dan arti. Tapi mana hal itu diketahui massa. Intinya buaya itu harus mati. Sebuah tombak melesat lagi lalu berhasil menusuk bagian tengah punggung buaya. Tepuk tangan dan sorak sorai massa seketika membahana. Buaya menggelepar kesakitan.
Sejumlah remaja berpakaian seragam SMA ikut juga dalam aksi tersebut. Sedikitnya ada dua batang tombak menancap di tubuh buaya. Darah segar perlahan mulai mengalir. Gerakan buaya semakin lemah. Massa tak peduli, mereka masih terus melemparinya dengan batu. Di tengah riuhnya massa, dari kerumunan nampak beberapa orang muncul sambil meminta massa untuk menghentikan serangan terhadap buaya. Beberapa orang mengenalinya. Ia rombongan Ki Nyamuk, warga asli Balekambang, Condet. Mengetahui itu massa langsung menurut untuk hentikan serangan.
Ki Nyamuk dikenal sebagai pawang buaya. Di sungai Ciliwung, Balekambang ia juga diketahui sebagai penguasa Pangkalan Buaya. Warga asli Balekambang yang lama tahu kalau dulu ada Buaya Putih dan Buaya Buntung yang mendiami Pangkalan Buaya. Dua jenis buaya tersebut bukan dari jenis hewan buaya asli, melainkan jejadian, alias siluman. Setengah hewan, setengahnya lagi manusia. Dulu masih ada orang-orang yang mengetahui ilmu terkait buaya siluman. Terutama para datuk dan tetua Condet. Orang sekarang pasti merasa aneh mendengar cerita ini. Orang dulu pun merasa aneh melihat kelakuan orang jaman sekarang. Impas!
Dulu di lokasi tersebut memang terdapat lubang cukup besar. Bentuk lubang akan terlihat jelas jika air sungai surut. Masih banyak warga asli setempat yang mengetahui perihal lubang besar dan Pangkalan Buaya. Setengah percaya, setengah tidak, disaksikan semua orang yang berada di sana, Ki Nyamuk mendekati buaya lalu unjuk kemampuan berbicara pada buaya yang tengah terluka parah tersebut. Kata Ki Nyamuk, ini bukan buaya biasa. Meski kalimatnya singkat namun kata-kata Ki Nyamuk cukup membuat semua orang di sana jadi terkesiap. Sekarang buaya tersebut tengah kesakitan luar biasa karena luka-luka di sekujur tubuhnya. Sebenarnya sejak tadi buaya itu tak berhenti menangis karena sudah dijahati. Ki Nyamuk buktikan omongannya dengan menunjukkan air mata yang nampak menetes dari kedua kelopak mata buaya. Semua yang di sana hanya bisa melongo.
Belum habis rasa heran orang-orang menyaksikan peristiwa tersebut, Ki Nyamuk kembali memberitahukan bahwa sekarang buaya merasa usianya tak akan lama lagi akibat lukanya yang parah. Oleh sebab itu, buaya meminta tolong pada Ki Nyamuk untuk memberitahukan keadaan dirinya pada seorang kerabatnya yang masih hidup di wilayah Ciracas, Jakarta Timur. Bermodalkan nama, ciri-ciri, dan alamat yang disebutkan buaya tadi, Ki Nyamuk segera mengutus beberapa orang untuk menemui dan menjemputnya.
Ternyata, apa yang diberitahukan buaya benar adanya. Seorang nenek di sebuah daerah di Ciracas diketahui warga setempat sebagai nenek yang hidup sendirian dan nyaris tak pernah ke luar rumah. Ciri, nama, dan alamatnya sudah sesuai dengan yang disebutkan oleh buaya. Pintu pun diketuk. Beberapa lama sempat tak ada reaksi. Akhirnya pintu rumah terbuka, tapi hanya dibuka sedikit. Dari celah pintu yang terbuka seorang nenek unjukkan hanya sebagian wajahnya. Tatapan matanya tak bersahabat. Tanpa banyak basa basi utusan Ki Nyamuk menyampaikan amanat sesuai yang diperintahkan. Seketika, berubahlah paras nenek. Kedua matanya jadi berkaca-kaca. Lebih terkejut lagi utusan Ki Nyamuk saat pandangan mata mereka menyaksikan kedua tangan nenek itu.