Menyorot sebuah daerah di kawasan ibukota. Di sudut beranda rumah sepasang suami istri yang saling mencinta tengah duduk berdua dan berbincang-bincang di suatu senja. Dua cangkir teh dan kopi tersedia ditemani sepiring cemilan pisang goreng dan singkong rebus. Usia sang istri sudah memasuki kepala empat, sementara sang suami hampir kepala lima. Keduanya banyak bercerita, lalu memutar memori kisah hingga ke tahun 90-an. Tatapan mata keduanya menerawang mengingat saat di mana film Warkop Dono Kasino Indro masih berjaya. Saat siaran RCTI hanya masih berbayar bulanan dengan menggunakan decoder.
Di samping suaminya yang tengah menghisap sebatang rokok sang istri jadi tersenyum getir sendiri saat mengingat bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia saat itu masih terasa damai dan tentram. Nuansa teduh dan harmonis masuk hingga ke dalam rumah tangga. Antar tetangga juga saling ramah menyapa. Kondisi kejiwaan warga masih tenang, nyaman dan tak bergejolak. Egoisme belum menjadi prioritas dan tingkat kesabaran masih tergolong cukup tinggi. Dalam bersosialisasi kesantunan masih didahulukan banyak orang. Sulit sekali menjumpai peristiwa kriminal di area publik terkecuali aksi copet amatiran yang sesekali beroperasi di angkutan umum. Bisa dibilang ibukota di waktu itu benar-benar berada dalam kondisi sangat kondusif.
Setelah kepulkan asap rokok, lalu giliran suaminya gantian mengenang. Teringat lagi apa yang pernah berlalu di awal tahun 90-an, kendaraan jumlahnya masih sedikit. Ruas jalan-jalan Jakarta juga nampak lengang. Jaman di mana kendaraan bermotor masih bukan prioritas, hingga jarang sekali ditemui orang-orang yang memiliki kendaraan roda dua, apalagi roda empat. Untuk sehari-hari masyarakat mengandalkan angkutan umum jika hendak bepergian. Yang membuat kenangan itu menjadi semakin tak terlupakan manakala ongkos angkutan umum begitu sangat terjangkau meski itu bagi kalangan menengah ke bawah sekalipun. Untuk rute terjauh saja, baik itu Mikrolet, Kopaja, Metro Mini, atau Bus PPD, penumpang hanya dikenakan biaya Rp. 50.
Di tahun 1995, penghasilan rata-rata para pekerja dan karyawan berkisar Rp. 500.000 - 1.000.000 perbulan namun mereka tidak dibebani oleh berbagai kebutuhan hidup, karena harganya yang sangat terjangkau. Harga BBM mulai dari tahun 1980 dipatok Rp. 150 per liter, lalu 11 tahun kemudian baru naik menjadi Rp. 550. Dua tahun kemudian naik lagi Rp 150, menjadi Rp. 700 perliter. Sementara nilai tukar rupiah pada dollar di awal tahun 1998 pun hanya Rp. 2.000. Dengan demikian sudah pasti seluruh kebutuhan hari-hari dapat diperoleh dengan harga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Di tahun 1997-1998 para ibu-ibu yang di genggaman tangannya membawa uang Rp. 1.000 untuk berbelanja ke warung masih bisa membawa pulang 1 liter beras, gula pasir 1Kg , telur ayam 1/4 kg, sekaligus garam 1 bungkus. Jadi mungkin jaman itu serasa orang kaya hanya membawa uang Rp. 100.000. Namun angin yang semula berhembus sejuk itu mendadak berubah tatkala Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara diterjang Krisis Moneter. Indonesia berguncang hebat. H.M. Soeharto sebagai nahkoda negeri berusaha menahan kenaikan seluruh kebutuhan pokok dengan devisa yang ada. Namun upaya itu tidak membuahkan hasil. Justru cadangan devisa yang semakin terus merosot. Jika subsidi terus dilanjutkan, negeri ini dipastikan rontok.
Untuk mendongkrak cadangan devisa sepertinya saat itu tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan kecuali menaikkan harga BBM. Hingga pada Senin, 4 Mei 1998, Presiden Soeharto memutuskan menaikan harga BBM. Tidak tanggung-tanggung. BBM dinaikkan hingga dua kali lipat, sementara untuk Tarif Dasar Listrik dinaikkan menjadi 60%. Kenaikan harga BBM dari yang semula Rp. 700/liter menjadi Rp. 1.200/liter. Kebijakan menaikkan BBM dan Tarif Dasar Listrik membuat rakyat terkejut bukan kepalang. Berpuluh tahun mereka terbiasa dimanja dengan subsidi dan harga kebutuhan pokok yang murah. Saat itu belum pernah pemerintah menaikkan harga BBM dan TDL dengan tingkat persentase sedemikian rupa. Karena biasanya jika ada kenaikan harga BBM, pemerintah hanya menaikkan harga Rp. 400/liter, itu pun baru dilakukan selama 11 tahun.
Kenaikan BBM memang mampu menggemukkan devisa negara sekaligus menahan lonjakan kenaikan kebutuhan hidup masyarakat, tapi berbuntut pada penyesuaian tarif lainnya, utamanya berefek domino pada naiknya ongkos transportasi angkutan umum yang juga dibidani pemerintah. Begitu juga pada kebutuhan pokok lainnya. Beras mengalami kenaikan sebanyak Rp. 100-200 per liter. Sementara gula pasir, terigu, dan telur rata-rata mengalami kenaikan hingga masing-masing Rp. 100-150 per kg. Meski demikian stabilitas kehidupan ekonomi masyarakat masih berjalan normal seperti biasa. Namun bagaimanapun dampaknya, rakyat sudah terlanjur kecewa. Melalui serangkaian aksi demo para Mahasiswa yang menggugurkan 4 jiwa, H.M. Soeharto akhirnya berbesar hati untuk mengundurkan diri dari jabatan Presiden hanya selang 16 hari setelah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik.